Sekilas Info

Medical Negligenci Ditinjau Dari Perspekrtif Kewajiban Pemenuhan Hak Dasar Pasien

Loly Bonafentura

Jika merujuk pada article 25 dari The Universal Declaration of Human Rights diawal tulisan ini, maka dapat dipahami pada dasarnya pasal itu menekankan bahwa dalam kaitannya dengan hak perawatan medik, maka pada hakikatnya hukum medik bertumpu pada dua hak dasar pasien, pertama hak atas perawatan - pemeliharaan medik ( the right to health care ) dan kedua hak untuk menentukan nasip sendiri ( the right of self determination ).

Jika kita merujuk pada konteks hubungan antar manusia, maka hubungan dokter-pasien dalam pelayanan kesehatan baik terhadap diri pribadi, keluarga maupun komunitas masyarakat diperlukan tatanan dan landasan filosofis yang mengarah pada tanggung jawab moral yang essensial dalam pelaksanaannya dimana inti dari falsafah ini adalah penghormatan terhadap hak dan martabat manusia sebagai insan ciptaan Tuhan.

Dengan demikian, maka implementasi dari landasan filosofis tersebut yang sejak lama telah tercetus dalam sumpah hipocrates ( 496-377 SM ), dalam praksisnya lebih menekankan kehormatan dokter atas kepercayaan yang dilimpahkan oleh para dewa untuk merawat manusia yang membutuhkannya.

Dalam konteks Indonesia, jika kita merujuk pada pasal 28 H UUD 1945 ditegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan. Selanjutnya dalam pasal 10 dan 11 KODEKI, ditegaskan bahwa adalah kewajiban dokter untuk senantiasa melindungi hidup makhluk insani serta menghormati hak mereka ( pasien).

Bahwa kedua hak dasar pasien itu lah yang sepatutnya diimplementasikan dalam konteks tidak saja pada hubungan dokter-pasien dalam suatu perikatan yang dikualifisir sebagai perikatan kuat berusaha ( inspanningverbintennis ) dalam transaksi terapeutik dokter-pasien ( vide = pasal 1320 KUHperdata) melainkan juga dalam konteks pelaksanaan standar pelayanan rumah sakit ( Vide= pasal 13 ayat (3) UU 44/2009 / UU Cipta Kerja).

Transaksi terapeutik pada dasarnya merupakan informed consent atau sering disebut juga sebagai persetujuan tindakan medik yang pada hakikatnya mencakup dua aspek penting, yaitu pertama aspek medical providers dan kedua medical receivers, dimana berdasarkan pandangan doktrinal hukum perdata ia mengatur hak-kewajiban dokter-pasien terkait dengan tindakan medik, cara dan teknis pengobatan hingga resiko yang bakal terjadi dalam tindakan medik tersebut.

Dari konsepsi filosofis hubungan dokter-pasien ini yang dikemudian waktu melahirkan hak dan kewajiban dokter-pasien dalam hubungan hukum, sosial dan profesi, termasuk hubungan pasien dengan Rumah Sakit dalam konteks penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat yang bermartabat, prima, terkoordinasi dan terintegrasi, maka secara linear dalam konteks itu, pelayanan kesehatan masyarakat merupakan bagian yang integral dari tenaga kesehatan ( termasuk dokter ) yang ada dengan sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang didasari pada akhlak ( mores ) dan kesopanan ( ethos ) yang tinggi.

Memaknai rujukan yuridis normatif

Bahwa Rumah Sakit dalam menjalankan fungsinya untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang meliputi pelayanan rawat inap, rawat jalan dan juga gawat darurat ( vide= psl. 1 angka (1) UU No 44/ 2009 sebagaimana dirubah dengan UU Cipta Kerja ) harus berpedoman pada standar pelayanan rumah sakit demi memberikan pelayanan kesehatan masyarakat yang bermartabat, prima , terkoordinasi dan terintegrasi.

Standar pelayanan rumah sakit adalah pedoman yang harus diikuti dalam menyelenggarakan rumah sakit, antara lain standar prosedur operasional, standar pelayanan medis dan standar asuhan keperawatan ( vide= psl. 13 (3) UU No.44/2009 dan perubahannya ).
Bahwa dari ketiga standar pelayanan rumah sakit tersebut, maka bertalian dengan konteks permasalahan yang jadi obyek kajian penulis, penulis mempersempit pada konteks standar prosedur operasional, namun tidak lantas pula mengabaikan eksistensi dua standar lainnya dalam penulisan ini.

Dalam konteks standar pelayanan rumah sakit, ketiga standar pelayanan itu sangat penting guna mewujudkan penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat yang selalu bertumpu pada pemenuhan hak-hak dasar pasien yaitu hak perawatan-pemeliharaan medik ( the right to health care ) dan hak untuk menentukan nasibnya sendiri ( the right of self determination ).

Dalam rangka pemenuhan hak-hak dasar pasien itulah Rumah Sakit menggunakan teknologi alat bantu medis / alat kesehatan demi menunjang standar pelayanan medis Rumah Sakit yang terkoordinasi dan terintegrasi demi keselamatan pasien ( nilai kemanusiaan ).

Bertalian dengan perspektif demikian, maka jika kita merujuk pada pasal 23 Permenkes RI No. 24/2016 tentang teknis bangunan dan prasarana rumah sakit, pasal mana menegaskan bahwa instalasi listrik rumah rumah sakit wajib diadakan demi menjamin keselamatan manusia. Itu artinya penggunaan alat bantu medis dan atau alat kesehatan yang bersifat elektronik dengan tujuan menyelenggarakan keselamatan pasien ( nilai kemanusiaan ) merupakan titik tuju dari keseluruhan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh Rumah Sakit.

Selanjutnya 1 2 3 4
Penulis: Loly Bonafentura
Editor: Redaksi
Photographer: Ist/Doc. Pribadi

Baca Juga