Urgensi Keberanian Jaksa Dalam Penegakan Hukum
(Suatu pendekatan komparatif penegakan hukum dalam perspektif pemberantasan korupsi di Alor – NTT)
Oleh: Loly Bonafentura
Ambivalensi Penegakan Hukum ; antara idealisme versus pragmatisme
Dalam Kompas 22 Juli 2004, pada halaman 8 ada tulisan atau lebih tepat sebuah laporan yang diberi judul "Tegakan Hukum Bukan Soal Keberanian". Tidak diketahui dengan persis apakah memang itu yang dikemukakan oleh Seorang Jaksa Agung M.A. Rahman kala itu, atau diksi yang coba dibangun oleh wartawan Kompas terkait eforia penegakan hukum, yang pasti kalimat itulah yang dijadikan judul tulisan.
Baca juga:
Kekuasaan Legislatif-Eksekutif telah Melumpuhkan Kepercayaan Publik
Berselang 5 bulan kemudian, pada 9 Desember 2004, bertepatan dengan peringatan hari anti korupsi sedunia, setelah Jaksa Agung Hendarman Supandji membacakan laporan tentang pemberantasan korupsi, pada momen yang sama itulah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi mencanangkan dimulainya langkah-langkah luar biasa dalam pemberantasan korupsi.
Dua narasi deskriptif itu menggugah nurani kita dan sekaligus memantik pertanyaan ada apa dengan realitas itu? pertanyaan demikian wajar mengingat kedua analogi penegakan hukum itu mencerminkan ambivalensi satu dengan yang lainnya.
Dalam perspektif penegakan hukum, penulis melihat realitas itu mencerminkan political will Pemerintah “terbelah“ pada dua aspek, sebut saja aspek idealisme dan pragmatisme penegakan hukum, dasar argumentatifnya adalah pertama, pernyataan Jaksa Agung M.A. Rahman kala itu yang melepas faktor keberanian dalam penegakan hukum bagi penulis merupakan aspek idealisme dan sekaligus merupakan kulminasi dari serangkaian rekam jejak beliau selama bertugas di korps berkostum coklat tua tersebut.
Ada beberapa daftar ketidakberanian beliau dalam mengungkapkan beberapa kejahatan pelanggaran HAM yang dalam perspektif opini publik ditafsirkan sebagai sesuatu yang kontraproduktif dalam penegakan hukum.
Baca juga:
4 Anggota DPRD Alor Kembalikan Temuan Irda NTT, Berikut Jumlah dan Komentar Praktisi Hukum
Bagi penulis faktor keberanian Jaksa tetaplah menjadi sesuatu yang urgen dalam penegakan hukum kendati bukan satu-satunya faktor penting. Dari perspektif idealisme penegakan hukum, pernyataan M.A. Rahman dalam konteks itu bisa saja benar adanya.
Sebagai seorang mantan Jaksa Agung yang telah banyak melakukan reformasi di tubuh Kejaksaan Republik Indonesia, beliau sangat paham bahwa penegakan hukum bukan pada soal keberanian semata, namun lebih dari itu, faktor independensi institusi berkostum coklat tua adalah keyword, namun sayangnya itu yang tidak dimiliki oleh institusi Kejaksaan Republik Indonesia.
Sejak UU No.16 / 1961 dengan sederet perubahan sampai saat ini dengan UU No. 11 / 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, ambiguitas Kejaksaan masih seperti dulu, terkekang dalam dua kekuasaan, eksekutif dan yudikatif dan ini merupakan kendala struktural dan / atau fungsional dalam konteks penegakan hukum oleh Jaksa. Problematik klasik yang menjadi handicap Kejaksaan Republik Indonesia tersebut sepatutnya tidak ditafsirkan sebagai anasir ketidakberanian Jaksa.
Bagi penulis, faktor keberanian Jaksa harus dimaknai sebagai representase kekuasaan negara yang diformilkan dalam menjalankan kekuasaan penuntutan dan bukan representase kekuasaan pemerintah karena jika demikian maka Jaksa akan tidak independen.
Baca juga:
Politik Barbar versus Etika Politik
Diksi ini tentu saja debatable namun sejarah mencatat pernah ada seorang Jaksa Agung, R. Soeprapto (1950-1959) yang konsisten dalam penegakan hukum di Indonesia tanpa pandang bulu (baca : Iip D.Yahya : Jaksa Agung R. Soeprapto (1950-1959) Mengadili Mentri Memeriksa Perwira-2004 ) dan itu berlangsung sebelum berlakunya UU No.16/1961 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Penegakan hukum tidak akan berjalan dengan sepatutnya manakala Kejaksaan Republik Indonesia masih berada dalam kerangkeng kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif.
Komentar