Sekilas Info

Terlalu Lama di Tenda Darurat, Anak-anak Pengungsi Erupsi Gunung Lewotobi Rindu Berat dengan Rumah

Agata Febrianti Fany Bean (14), Fransiska Gone (12), Helena Kewa Bungan (7), Sisilia Marta Bili Bungan (10), Chirstiano Servasius Ora (13), Bernadeva Januario Bean ( 10), Yohanes Maretno (13), dan Andreas Iniesta Koban (13). Korban erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki foto bersama di dalam sekolah darurat di posko pengungsian Desa Bokang Wolomatang. Dailyklik.id/ArseniusAgung Boli Ama

Mimpi pulang ke rumah masih menjadi harapan terbesar bagi anak-anak pengungsi erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki. Di tengah ketidakpastian, mereka berusaha bertahan dengan kondisi seadanya, meski kehilangan kenyamanan, pendidikan, dan kehidupan normal yang dulu mereka kenal.

***

Bertahan di Tengah Keterbatasan

Di dalam gedung pengungsian yang penuh sesak, ratusan warga terdampak erupsi berbagi ruang dengan segala keterbatasan. Tikar merah yang terbentang di lantai menjadi alas tidur mereka. Di sudut ruangan, seorang perempuan paruh baya sibuk melipat pakaian, sementara seorang nenek duduk bersandar di tembok dengan raut kelelahan.

Di sisi lain, seorang ibu muda menggendong bayinya yang terus menangis. Ia mencoba menenangkan si kecil yang tampak gelisah. Di tengah kondisi yang serba terbatas, para pengungsi bertahan dengan harapan bisa segera kembali ke rumah.

Proses pembangunan sekolah darurat untuk korban terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki di Desa Konga, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, NTT. Dailyklik.id/Arsenius Agung Boli Amat

Agata Febrianti Fany Bean, 14 tahun, adalah salah satu dari sekian banyak anak yang merindukan kehidupan normal. “Kami rindu tempat tidur, mainan, teman bermain di dekat rumah. Tapi yang paling kami rindukan adalah makan bersama keluarga sambil tertawa,” ujarnya lirih.

Temannya, Fransiska Gone, 12 tahun, juga ingin segera pulang. “Saya ingin hidup seperti sebelum gunung erupsi. Saya ingin bertemu lagi dengan keluarga dan teman-teman,” katanya penuh harap.

Mereka bukan satu-satunya anak yang merindukan kehidupan normal. Ada ratusan anak di pengungsian yang memiliki perasaan serupa, seperti Helena, Sisilia, Christiano, Bernadeva, Yohanes, dan Andreas. Semua berharap bisa kembali ke rumah dan menjalani kehidupan mereka seperti dulu.

Anak-anak Butuh Ruang yang Aman dan Nyaman

Di tengah situasi ini, Maria Anastasia Lamalele, seorang wali bagi beberapa anak di pengungsian mengungkapkan, pendidikan darurat sudah berjalan. Namun, itu tetap tidak bisa menggantikan suasana belajar yang seharusnya mereka rasakan di sekolah.

“Anak-anak ini dipaksa menghadapi situasi sulit. Mereka masih kecil, tetapi keadaan membuat mereka harus berpikir lebih jauh dari usia mereka,” katanya.

Kondisi dua tenda darurat yang biasa digunakan anak-anak korban erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki sebagai ruang kelas belajar. Dailyklik.id/ArseniusAgung Boli Ama

Menurut Anysha Tukan, relawan yang mendampingi anak-anak di pengungsian, anak-anak tidak hanya kehilangan rumah, tetapi juga rasa aman.

“Mereka perlu kegiatan yang bisa mengalihkan pikiran dari trauma, seperti bermain sepak bola, menggambar, atau membuat kerajinan tangan,” jelasnya.

Selain itu, edukasi tentang bencana dan kesehatan mental juga penting untuk membantu mereka bangkit.

Senada dengan itu, aktivis perempuan Nurasiah Jamil menegaskan, dalam situasi bencana, anak-anak harus mendapatkan perlindungan maksimal. “Posko evakuasi harus ramah anak, aman, dan nyaman, serta menyediakan fasilitas kesehatan, makanan bergizi, dan sarana bermain,” katanya.

Menurutnya, edukasi mitigasi bencana amat penting bagi anak-anak agar mereka paham apa yang harus dilakukan saat bencana terjadi.

“Anak-anak jangan hanya dijadikan objek, tetapi juga harus menjadi subjek dalam mitigasi bencana. Jika perlu, materi kebencanaan dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah,” tambahnya.

Gunung Lewoloba Laki-laki saat erupsi

Selain itu, Nurasiah menganjurkan, orang tua juga perlu dibekali pengetahuan tentang cara melindungi anak saat bencana terjadi. “Masyarakat harus tahu bagaimana melindungi anak-anak mereka agar mereka tetap aman,” imbuhnya.

Pemerintah Masih Sulit Dihubungi

Di tengah berbagai upaya relawan dan masyarakat sipil untuk membantu para pengungsi, komunikasi dengan pemerintah daerah tampaknya tidak berjalan lancar.

Ketika mencoba mengkonfirmasi langkah-langkah pemerintah dalam menangani para pengungsi, termasuk memastikan hak-hak anak terpenuhi, Bupati Flores Timur, Anton Doni Dihen, mengaku sedang sibuk.

Ia mengarahkan kami untuk mewawancarai Wakil Bupati Ignasius Boli Uran. Kami mencoba menghubungi Wakil Bupati via Whatsapp. Ia membalas pendek, dirinya sedang dalam perjalanan. Permintaan wawancara yang kami ajukan via pesan WA tidak digubris, meski sudah centang dua biru (terbaca). Kami juga berusaha mengonfirmasi dengan mendatangi kantornya namun ia tidak tampak di sana.

Kami juga mencoba meminta tanggapan dari anggota DPRD Flores Timur, Albert Sinour. Saat dihubungi melalui pesan WhatsApp, ia hanya menjawab singkat bahwa ia sedang sibuk dengan tugas dinas dan belum memiliki waktu untuk memberikan komentar.

Para pengungsi di Aula SDK Eputobi, Desa Eputobi, Kecamatan Titehena. Dailyklik.id/Arsenius Agung Boli Ama

Bersama Menjaga Harapan

Di pengungsian, para warga berusaha menjalani hari-hari mereka dengan sabar. Bantuan dari berbagai pihak mulai berdatangan, tetapi kebutuhan terus meningkat. Tim relawan sibuk membagikan makanan dan air bersih.

“Kami berusaha semaksimal mungkin untuk memastikan semua pengungsi mendapat kebutuhan dasar,” ujar seorang petugas kemanusiaan.

Namun, tantangan lain terus muncul. Sanitasi yang belum memadai, persediaan makanan yang terbatas, serta rasa cemas akan rumah yang ditinggalkan menjadi beban tersendiri bagi para pengungsi.

Pemkab Flores Timur kembali membangun sekolah darurat untuk anak-anak pengungsi letusan gunung Lewotobi Laki-laki. Dailyklik.id/Arsenius Agung Boli Ama

Saat ini, pemerintah masih berusaha memenuhi kebutuhan dasar para pengungsi. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Flores Timur, Fredy Moat, memastikan anak-anak mendapat perhatian khusus.

“Kami berupaya agar hunian tetap segera terwujud, sehingga mereka bisa kembali bersekolah dengan normal,” ujarnya.

Namun, bagi Fany, Fransiska, dan anak-anak lainnya, mereka tidak hanya menunggu janji atau rencana. Mereka ingin pulang. Mereka ingin kembali ke rumah, bermain dengan teman, dan berkumpul bersama keluarga seperti dulu.

Di luar posko pengungsian, abu vulkanik masih menyelimuti sebagian wilayah. Gunung Lewotobi Laki-Laki masih menunjukkan aktivitasnya. Namun, di dalam ruangan yang penuh sesak itu, ada satu hal yang tetap menyala: harapan akan kehidupan yang lebih baik setelah bencana ini berlalu. (*)

Baca Juga