Opini
Pentingnya Kritik dan Godaan Demagogi
Hujatan sebagai strategi diskualifikasi
Biasanya demagog memainkan siasatnya dalam rekayasa logika berpikir yang provokatif. Caranya mendiskualifikasi lawan bicara dengan hujatan atau penghinaan. Fakta dijadikan nomor dua, yang penting mengobok-obok emosi.
Baca juga: Mengatasi Stigma Negatif terhadap Pendidikan Kesetaraan
Setidaknya ada enam jenis penghinaan yang sebetulnya merupakan bentuk kekeliruan logika berpikir (fallacy), tetapi sangat efektif jika digunakan untuk strategi mendiskualifikasi lawan bicara.
Pertama, argumen ad hominem biasa menjadi cara mendiskualifikasi lawan bicara. Argumen ini berupa penghinaan dengan menyerang karakter seseorang, bukan menanggapi argumen atau ide. Padahal, argumen ini merupakan cacat berpikir (fallacy), yaitu upaya untuk mendiskreditkan posisi seseorang dengan menyerang secara pribadi. Misalnya, ”Kamu bodoh, jadi pendapatmu tidak penting.”
Penghinaan membangkitkan emosi negatif untuk mendiskreditkan argumen. Serangan pribadi memicu respons emosional daripada diskusi rasional. Hujatan sering bertujuan untuk merendahkan, memprovokasi, atau menyakiti orang lain, yang tidak kondusif untuk komunikasi yang rasional atau debat yang sehat.
Kedua, mendiskreditkan argumen, bahkan sebelum pihak lain menyampaikannya (argumen venenum in poculo). Biasanya menggunakan bahasa yang merendahkan agar publik berprasangka buruk terhadap sudut pandang orang tersebut. Misalnya, ”Ini dia ide konyolnya yang lain.”
Ketiga, penghinaan yang melebih-lebihkan argumen atau posisi seseorang sehingga mudah untuk diserang. Misalnya, ”Gubernur X gombal karena menolak menaikkan upah minimum buruh 25 persen. Jadi, ia hanya ingin membiarkan yang kaya semakin kaya dan mengorbankan yang miskin.”
Pernyataan ini adalah kekeliruan berpikir ignorantio elenchi, yaitu argumen mengambil kesimpulan yang diinginkan, padahal kesimpulan itu merupakan sesuatu yang berbeda, tak ada hubungan langsung. Strateginya mendistorsi sudut pandang lawan bicara untuk membuatnya tampak lemah, tidak masuk akal.
Baca juga: Hanya 36,1% Anak Kelas 3 SD di Papua Memiliki Keterampilan Literasi
Keempat, penghinaan yang membawa argumen ke dalam kesimpulan yang ekstrem dan absurd, untuk membuatnya tampak konyol. Kesalahan berpikir ini disebut reductio ad absurdum. Misalnya, ”Jadi, menurutmu, kita semua harus berhenti bekerja dan hidup di dunia fantasi utopis?”
Diskusi yang konstruktif harus fokus pada penanganan substansi argumen, bukan menggunakan hujatan.
Kelima, penghinaan yang tidak berhubungan atau tidak relevan dengan topik yang dibahas, tetapi digunakan untuk merusak kredibilitas atau argumen seseorang. Kesalahan berpikir ini dikenal dengan istilah argumen non sequitur. Misalnya, ”Kamu bahkan tidak bisa memakai dasi dengan benar, jadi mengapa saya harus mendengarkan pendapatmu?”
Baca juga: Agar Terhindar dari Demotivasi, Berikut 5 Tips dari Fara Lubis
Keenam, penghinaan yang menghadirkan situasi yang hanya memiliki dua pilihan ekstrem, mengabaikan potensi solusi jalan tengah. Ini bisa digunakan untuk meremehkan perspektif seseorang dengan menempatkan dalam konteks dilema palsu. Misalnya, ”Entah Anda mendukung kebijakan ini sepenuhnya, atau Anda hanyalah dinosaurus yang bodoh.”
Diskusi yang konstruktif harus fokus pada penanganan substansi argumen, bukan menggunakan hujatan. Maka, argumen harus relevan, artinya terkait langsung dengan kejelasan dan prediksi hasilnya; mencukupi karena syarat-syarat logisnya terpenuhi; dan diterima karena membantu mencapai pemecahan masalah yang disetujui sebanyak mungkin pihak (Ralph H Johnson, 1977)








Komentar