Antara Politik Identitas dan Identitas Politik

Antara Politik Identitas dan Identitas Politik
Oleh: *Pdt. Dr Albertus M Patty
Ada politisi mengatakan sesuatu yang menarik. Di hadapan wartawan, politisi ini menegaskan bahwa “Dalam Pemilu nanti politik identitas sulit dihilangkan. Pasti akan ada politik identitas.” Maksudnya, katanya, kalau yang bertarung laki-laki dan perempuan maka ada identitas yang mengemuka antara laki-laki dan perempuan.
Kalau calonnya berbeda agama atau berbeda etnik maka pasti mengemuka perbedaan agama atau etnik. Pernyataan ini menegaskan bahwa sang politisi belum bisa membedakan antara identitas politik dan politik identitas. Contoh yang dikemukakannya adalah identitas politik, bukan politik identitas.
Perempuan atau laki-laki adalah identitas politik. Politik identitas dimulai saat seseorang atau sekelompok orang mengekspolitasi isu gender yang sifatnya patriarki. misalnya mengatakan semua perempuan lemah karena itu perempuan tidak layak jadi Presiden.
Menjadi Jawa, Tionghoa, Arab, Papua atau Sunda adalah identitas politik. Tetapi identitas politik bermetamorfosa menjadi politik identitas saat seseorang mulai mengekspolitasi isu etnis dengan merendahkan dan mendeligitimasi etnis lawan politiknya.
Baca juga: Politik Identitas Bukan Hal Tabu
Demikian juga ini. Agama yang dianut seorang politisi adalah identitas politik. Nah, politik identitas dimulai ketika demi memperoleh dominasi dan hegemoni politik, ‘competitornya’ mengekspolitasi isu agama, apalagi dengan mengeksploitasi ayat-ayat suci yang ditafsir untuk melegitimasi dan merendahkan agama lawan politiknya dan kelompok agama lain.
Politik Identitas
Memang benar, politik identitas itu tidak akan hilang dari dunia politik. Seharusnya, menurut saya, jangan hilang asalkan politik identitas yang dipraktekkan bersifat positif. Francis Fukuyama mengemukakan, pada dasarnya politik identitas ada dua, yang positif dan ada juga yang negatif.
Komentar