Sekilas Info

Seni AI: Antara Kreativitas dan Krisis Etika Seni

Finley Zaluchu, Mahasiswa Prodi Computer Science, Universitas Bina Nusantara

Oleh: Finley Eiwan Franklin Zaluchu*)

Belakangan ini, seorang bernama Hayao Miyazaki mengkritik keras penggunaan AI dalam seni. Ia adalah seorang yang berkecimpung dalam bidang seni, secara spesifik pada karya anime atau kartun Jepang.

Dilansir dari The Independent pada Jumat (28/3/2025), Miyazaki memberikan kritik kepada para pendiri AI, “Saya benar-benar jijik. Jika Anda ingin membuat hal yang menyeramkan, silahkan saja. Saya tidak akan pernah ingin memasukkan teknologi ini (AI) ke dalam karya saya sama sekali," serunya.

Pernyataan itu tidak terjadi begitu saja. Miyazaki melontarkan pernyataan bernada protes tersebut karena baru-baru ini chatGPT merilis sebuah fitur dimana penggunanya bisa membuat gambar yang salah satu gaya gambarnya adalah gaya gambar Ghibli, yang diciptakan oleh Hayao Miyazaki.

Tidak hanya Miyao Miyazaki. Sebelumnya telah banyak seniman yang dengan gamblang menyatakan kritik terhadap AI yang memasuki bidang seni secara masif.

Pada tahun 2022, ada satu gerakan #NoToAIArt yang melibatkan begitu banyak seniman dimana mereka tidak ingin karya mereka digunakan untuk melatih model AI.

Selain itu pada 2023, muncul tuntutan kepada perusahaan AI yang dituduh melatih AI menggunakan karya orang lain tanpa izin dan terindikasi melakukan pelanggaran hak cipta.

Lalu bagaimana seharusnya AI yang mulai berkecimpung dalam dunia seni? Apakah penggunaan AI dalam seni menjadi sebuah nilai baru?

Banyaknya kritik terhadap AI belakangan ini dikarenakan sebuah teknik yang dinamakan data scrapping. Data scrapping merupakan sebuah cara dimana perusahaan AI akan membuat sebuah bot yang nantinya akan mengambil data secara masif dari ribuan jenis web dengan tujuan tertentu.

Misalnya, perusahaan AI ingin AI mereka mampu menciptakan gambar dengan teknik Ghibli, maka scrapper digunakan untuk mengambil ribuan gambar dari situs-situs seperti Pinterest, ArtStation, atau DeviantArt. Di sinilah letak permasalahannya.

Data scrapping sering dilakukan tanpa mempedulikan hak cipta pembuatnya. Para perancang AI hanya mengambil begitu saja apa yang bisa diambil dari sumber manapun, hanya agar AI bisa belajar untuk membuat jenis-jenis gaya lukis yang nantinya diinginkan oleh pengguna.

Bidang seni merupakan salah satu bidang yang sangat “sensitif” jika AI berkecimpung di dalamnya. Sekarang ini, ada sebuah pekerjaan yang muncul, seniman AI.

Seseorang bisa saja menyebut dirinya seorang seniman dengan menggunakan kemampuannya untuk melakukan prompting AI. Namun, pada akhirnya, seni tersebut tetaplah kosong, tanpa makna, dan tidak ada esensi “kenikmatan” yang bisa dipandang saat melihat keindahannya.

Bandingkan dengan seniman-seniman sebelum AI lahir, mereka mampu menyediakan “kenikmatan” mata yang luar biasa saat melukis karena mereka melukis dengan penuh jerih payah, menghabiskan waktu, mengeluarkan uang, dan menuangkan segenap pikirannya kepada sebuah gambar atau lukisan. AI? AI sama sekali tidak mampu melakukan itu.

Memang, tidak semua seniman menolak kehadiran AI. Industri kreatif dan digital sangat terbantu dengan adanya AI karena AI mampu memperluas imajinasi dan ide-ide menarik.

Dalam batas tertentu harus diakui jika AI benar-benar membantu manusia untuk berkarya lebih jauh lagi. Refik Anadol, misalnya, seorang seniman digital yang menggunakan bantuan AI untuk membuat karya seni dari otak manusia.

Lalu bagaimana menyikapi hal ini?

Satu-satunya solusi untuk permasalahan AI dan pencurian hak cipta adalah dengan membuat regulasi dan perizinan yang adil.

Di kawasan Eropa, pada 2024 ada sebuah peraturan dimana generative AI harus transparan mengenai data pelatihan yang ada, harus memberitahu AI tersebut dilatih dari konten yang memiliki hak cipta, dan melarang data scrapping. Ini menunjukkan bahwa seni merupakan hal yang begitu berharga dan AI tidak boleh dengan semena-mena mencuri hak dari seniman.

Sayangnya di Indonesia sendiri belum ada regulasi khusus yang melindungi hak cipta karya dalam AI. Pemerintah seharusnya tidak hanya memikirkan makan bergizi gratis, tetapi perlindungan terhadap karya cipta dan regulasi AI merupakan upaya melindungi kapasitas sumber daya manusia.

Sebagai masyarakat awam, apa yang perlu kita lakukan menanggapi penggunaan AI yang meluas? AI merupakan penolong manusia, bukan pengganti pekerjaan manusia. Gunakan AI secukupnya untuk membantu kehidupan pekerjaan kita.

Sebagai programmer, gunakan AI untuk membantu memahami code dan bug dalam program. Sebagai seniman, gunakan AI untuk membantu memberikan pencerahan dan ide-ide baru.

Sebagai penulis, gunakan AI untuk membuka wawasan yang lebih luas lagi tentang begitu banyak topik. Bahkan sebagai pekerja kantoran, gunakan AI untuk memudahkan masalah-masalah yang melibatkan Excel.

AI merupakan teman yang dapat membantu pada kadar yang cukup.

*) Penulis adalah mahasiswa Prodi Computer Science Universitas Bina Nusantara

Penulis: Finley Eiwan Franklin Zaluchu
Editor: Dedy Hu
Photographer: Dokumen Pribadi

Baca Juga