Sekilas Info

Dampak Pandemi Sektor Pariwisata Rugi Hingga Rp 85,7 Triliun, PHRI: Stimulus dan Kartu Pra Kerja Tidak Efektif

Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani

Jakarta – Akibat pandemi Covid-19 Hotel dan Restoran serta sektor lain terkait Pariwisata di Indonesia terpuruk hingga puluhan triliunan rupiah. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengkalkulasi total kerugian yang dialami sektor ini mencapai Rp 85,7 triliun.

Hal itu dikemukan Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi X DPR RI secara virtual, seperti yang dilansir Tempo.Co, Selasa (14/7).

"Kerugiannya untuk sektor hotel itu adalah Rp 30 triliun, dan restoran itu Rp 40 triliun sampai dengan April yang lalu. Lalu, kerugian untuk maskapai penerbangan US$ 812 juta (setara Rp 11,7 triliun/kurs Rp 14.460) dan untuk tour operator itu adalah Rp 4 triliun," kata Hariyadi.

Hariyadi menambahkan, sebanyak 2.000 hotel yang menyatakan tutup operasional, sedangkan terdapat 8.000 restoran yang mengalami hal serupa.

Meski begitu, Ketua Umum PHRI ini berharap kondisi itu tak berlangsung lama. Hariyadi mencatat secara bertahap pada pertengahan Juni 2020 hotel dan restoran secara bertahap mulai beroperasi.

Selain itu, Lockdown di sejumlah wilayah di tanah air, kata Hariyadi juga berdampak pada menurunnya kunjungan wisatawan secara drastis.

Berdasarkan catatan World Tourism Organization (WTO) yang dilansir Tempo.Co, penurunan kunjungan turis mencapai 44 persen secara global bila dibandingkan dengan tahun lalu. Akibatnya kerugian terjadi di seluruh sektor industri pariwisata.

Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani mengungkapkan, selama pandemic Covid-19 sekitar 95 persen tenaga kerja di sektor pariwisata dirumahkan tanpa diberikan gaji.

"Kalau yang di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) jumlah relatif sedikit," ujarnya.

Stimulus dan Kartu Pra Kerja Tidak Efektif

Bukan tanpa alasan. Dilansir DailyKlik.id dari Tempo.Co, Hariyadi menjelaskan, stimulus dari pemerintah kepada pengusaha pariwisata tidak cukup untuk mengurangi beban biaya operasional, termasuk gaji karyawan.

Ia memberi contoh salah satu stimulus yang tidak efektif yakni adanya pengurangan pajak penghasilan PPh 21.

"Kalau PPh 22 bagi kami tidak begitu banyak manfaatnya karena ini adalah untuk impor dan yang menarik adalah PPh 25 ini untuk sektor pariwisata yang mayoritas 90 persen pasti bukunya mencatat kerugian jadi mestinya tidak bayar PPh 25 karena rugi," kata Hariyadi.

Sedangkan, untuk program Kartu Pra Kerja pun Hariyadi menganggap tidak efektif karena banyak karyawan terdampak pandemi justru tidak dapat mengakses program itu.

"Kartu Pra Kerja juga tidak efektif bagi kita karena pada kondisi seperti ini kan yang dibutuhkan adalah 100 persen jaring pengaman sosial atau bantuan langsung tunai,” ungkapnya.

Hariyadi menambahkan, kartu pra kerja ini karena dibuka secara umum, sehingga karyawan yang terdampak tidak memiliki akses mendapatkan kartu pra kerja, bahkan distop sampai saat ini.

Penulis: Redaksi
Sumber: Tempo.Co

Baca Juga