1. Beranda
  2. Opini

Agama, Kasih dan Peradaban

Oleh ,

Agama, Kasih dan Peradaban

Oleh: *Redem Kono

Seusai makan siang, saya tiba-tiba bersemangat membaca sebuah buku berjudul Objectivity, Relativism, and Truth: Philosophical Papers, Volume 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1991). Penulisnya adalah seorang penulis dan teoretisi pragmatisme Amerika Serikat, Richard Rorty (meninggal 2007).

Terdapat beberapa pokok penting dibahas dalam buku ini. Namun, salah satu pokok penting yang menarik perhatian saya adalah kritiknya terhadap idolatria agama dan bagaimana ia menempatkan agama dalam konteks zaman ini.

Dalam artikelnya berjudul "The Priority of Democracy", Rorty mengutip pendapat dari Thomas Jefferson, yakni bahwa: "kita tidak akan melukai tetangga (kita) dengan mengatakan bahwa ada dua puluh Tuhan atau tidak ada Tuhan" (hlm. 25) Artinya, pertanyaan tentang agama adalah wilayah privat.

Baca juga: Antara Politik Identitas dan Identitas Politik

Ketika ditempatkan pada wilayah privat, maka agama tidak relevan dengan kehidupan publik. Agama hanya diperlukan orang untuk mencari "kesempurnaan diri" (search for perfection) dan pematangan diri, bukan untuk "kebijakan publik" (public policy). Agama tidak relevan dengan kepentingan publik, karena kehidupan publik membutuhkan karakter-karakter dan ciri khas yang bertentangan dengan agama.

Contohnya, bagi Rorty, agama dapat rentan terhadap pembenaran ideologis. Agama dapat mewartakan apa yang disebutnya kebenaran-kebenaran, dan sifatnya mutlak. Demi apa yang dianggap benar, orang dapat berdarah-darah, ataupun menewaskan dirinya sendiri di atas altar pembenaran ideologis.

Sifat ideologis akan memaksakan klaim kepongahan agama sebagai satu-satunya rujukan bagi hidup bersama. Agama menawan kebebasan manusia, yang sebenarnya sangat dibutuhkan untuk menciptakan solidaritas.

Baca juga: Politik Identitas Bukan Hal Tabu

Memang terdengar ekstrem, ketika Rorty secara terang-terang menolak agama. Menurutnya, agama tidak memiliki tujuan praktis, karena menjauhkan manusia dari sekitar kesehariannya. Orientasi pada Tuhan atau Kekuatan yang Tak Tampak membuat manusia tidak menyelesaikan (mungkin melupakan) persoalan-persoalan di sekitarnya.

Berita Lainnya