Wartawan Jihad versus Badut Politik
Oleh: Loly Bonafentura
Ketika Mochtar Lubis me-launchingkan bukunya yang berjudul wartawan jihad pada 1992, banyak kalangan menaruh rasa syukur karena buku tersebut adalah representase pengukuhan peran jurnalistik yang konsisten dalam memegang kekuatan kritik terbuka sebagai sarana kontrol kaum jurnalis untuk proses menegara dan membangsa kita secara demokratis.
Lubis dengan bukunya wartawan jihad adalah personifikasi peran pers dengan jiwa idealisme pers yang demoktratis yang selalu berupaya memenangkan hak-hak dasar rakyat dalam pertarungan yang tidak seimbang antaran society disatu sisi dan state pada sisi lainnya.
Lubis tidak pernah merasa gentar dengan kekuasaan orba ketika itu. Idealisme pers ketika itu adalah kemandirian pers dalam menyampaikan kritik yang demoktratis dengan tujuan memberikan balance control demi penyehatan kehidupan bernegara dan juga belajar membangsa secara demokratis.
Puluhan tahun setelah itu, mulai terasa independensi dan idealisme pers/ media mulai bertransformasi mencari bentuk serta melakukan reorientase atas fungsi dan peran jurnalistik yang pada akhirnya memunculkan dua model jurnalis yang disebut sebagai jurnalis kanan & jurnalis kiri, yang kanan selalu berorientase pada kepentingan kekuasaan, yang terkandang jadi momok bagi demokrasi.
Sedang yang kiri selalu berorientase pada kepentingan society yang terkadang di anggap ancaman bagi kekuasaan. Narasi yang terbangun ini sebenarnya memiliki satu tujuan yaitu sebagai suatu healthy therapy terhadap prognosis independensi pers / jurnalistik di Alor (NTT) khusus di era kepemimpinan Djobo – Duru (Bupati dan Wakil Bupati Alor).
Penulis paparkan ini dengan asumsi, pertama saat peristiwa 9-9-2021 (tentang hibah tanah ke PT Pertamina dan Penerimaan Dana CSR diduga bermasalah, artikel tentang ini ada di link berita tribuanapos.net), penulis melihat media di Alor tidak ada keberanian membuka itu jika Naboys Tallo tidak mengundang rekan media meliput kegundahan hati seorang srikandi dewan yang saat itu begitu fenomenal di rumahnya di kawasan Sawah Lama Kota Kalabahi.
Dan yang hadir saat itu adalah jurnalis petarung seperti Moris Weni dan Dematrius Mautuka, dimana yang lainnya? suatu hot issues yang sebenarnya dapat menjadi entry point kontrol jurnalis terhadap kekuasaan hanya di tangkap oleh dua orang muda itu. Kedua, ketika dugaan sebagian tanah Yafet Famai diserobot oleh Pemkab Alor, hanya seorang Dematrius Mautuka yang nyanyi solo di ruang maya publik, dan itulah yg menggerakan nurani penulis menulis itu dan sudah tertayang di tribuana pos.
Baca juga: Usai Adukan Bupati Alor ke Bareskrim Polri, Anggrek-Djobo Kini Berdamai
Namun ketika mencuat kekisruhan dugaan penggunaan tanah, batu dan pasir di lokasi TPA, hanya metro alor yang muncul berturut membuka itu dan dalam konteks itu metro alor seolah sebagai corong pemerintah karena terbaca jelas ada kepentingan Pemkab Alor disitu.
Apalagi ada upaya penggiringan opini publik dalam pemberitaan itu untuk suatu investigasi formal apa yang sesungguhnya sedang terjadi dibalik itu? penulis diminta nulis itu, namun ketika tahu owner Sinar Karya adalah Bapak Besar (paman) dari dua keponakan penulis, penulis nolak, ada ratio dan rasa yang pasti jadi hambatan psykologis walau sesungguhnya dari aspek prinsip contra proferentem dalam kontrak konstruksi semua isi / klausul akan dapat dijelaskan secara gamblang.
Komentar