Plus-Minus Hukum Dalam Perlindungan Perempuan dan Anak
(Suatu catatan kritis terhadap lemahnya perlindungan hukum bagi perempuan dan anak di Alor – NTT)
oleh : Loly Bonafentura
“didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya dia tidak akan menyimpang dari jalan itu” (Amsal 22 : 6)
Kutipan ayat kitab Amsal diawal tulisan ini bukan tanpa maksud penulis kutip. Hal didikan dalam kitab Amsal memberi suatu penegasan bahwa didikan yang patut bagi kaum muda akan menjadikan dia wise dan teguh dalam kehidupannya dan tidak akan berkompromi dengan segala bentuk kejahatan hingga masa tuannya.
Mengutip media online tribuanapos.net beberapa waktu lalu yang menayang berita meninggalnya seorang anak SMP di Padang panjang – kabupaten Alor – NTT setelah sehari sebelumnya dirawat di RSU Kalabahi. Korban anak dibawa umur itu diduga meninggal akibat sebelumnya (baca: diduga) dianiaya gurunya karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah membuat publik Alor tersentak. Penulis mengontak pemrednya, Dematrius Mautuka, seorang yang masih muda, namun kritis dan cerdas dibidangnya, darinya penulis tahu semuannya. Di akhir cerita, dia berpesan, “kaka buat tulisan ee", dan penulis menyanggupinya.
Belum lagi rasa keprihatinan publik reda, media online Metro Alor memuat berita terkait pelecehan seksual yang dialami oleh seorang anak perempuan yang diduga dilakukan oleh seorang oknum ASN Pemkab. Alor, dan fakta itu membuat miris kita. Sungguh memprihatinkan.
Berkaitan dengan penganiayaan terhadap anak didik di Padang panjang Alor – NTT tersebut, sekiranya penulis berpendapat bahwa bukan merupakan hal yang pertama kali terjadi. Pada era 1983, ketika penulis masih duduk di kelas 1 SMP Katolik St. Jibrael – Lip (baca: Kalabahi, ibu Kota Kabupaten Alor), ada kejadian serupa. Salah seorang Oknum Guru Yusuf Arkiang Bukalo memukul (baca: menganiaya) siswa Reiner Malukai sehingga meninggal dunia.
Kita lantas bertanya, ada apa dengan dunia pendidikan di Alor ? Adakah yang salah disana ? kekerasan, pengaiayaan dan pelecehan seksual sepertinya tidak bisa lepas dan menghantui sekian banyak anak didik / generasi muda Alor, dimana hukum itu ? kedua kejadian itu sungguh – sungguh memprihatinkan kita semua. Publik sudah barang tentu bertanya, dimana hukum itu ? Dimana aparatur penegak hukum itu ?
Bagi penulis, pertanyaan itu wajar diajukan karena pertanyaan tersebut tidak lantas menjadikan masyarakat sebagai kaum Hobbesian, kaum yang mengagung – agungkan kemampuan absolut hukum/perundang – undangan berikut perangkat hukumnya dalam mengatur ketertiban masyarakat khususnya di Alor.
Dalam perspektif Hobbesian, partisipasi publik dalam penegakan hukum adalah nol. Semuannya diserahkan kepada negara, negara mengatur dan mengawasi ruang publik sedemikian rupa sehingga manakala terganggu ketertiban umum, negara dengan perangkat hukumnya yang paling bertanggungjawab untuk itu.
Masyarakat mungkin salah dalam memberi ruang publik yang begitu luas kepada negara (aparatur penegak hukum), atau justru masyarakat termakan oleh semboyan manis dari penegak hukum kita yang melindungi dan mengayomi ? sehingga mereka menaruh harapan lebih pada aparatur penegak hukum kita. Fakta ini memantik sikap acuh tak acuh masyarakat dalam proses penegakan hukum, suatu sikap dalam psikologi sosial disebut sebagai the bystander effect.
Dari perspektif lain, faktor tipikal penegakan hukum formalistik bagi penulis berkontribusi pula sebagai hambatan masuknya partisipasi publik dalam penegakan hukum. Bisa saja kekerasan terhadap anak, pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan (strange atau date rape), dan perselingkuhan tidak tersentuh penegakan hukum karena hambatan prosedur formalistik atau bisa pula ada hambatan psykologis yang mengakibatkan korban kekerasan memilih diam.
Penegakan hukum membutuhkan kesadaran yang tinggi tidak saja dari aparatur penegak hukum, namun oleh seluruh elemen masyarakat.
Dalam perspektif sosiologis empirik, hukum dimaknai sebagai suatu gejala sosial, artinya hukum itu muncul guna mengatur dan memberi keseimbangan peran atas pola pikir dan pola laku dalam suatu struktur sosial yang kompleks dan paling tidak dalam bentuk yang dapat dirasakan seperti dalam bidang ekonomi, politik, budaya dan moral, termasuk hukum didalamnya. Dan itu (hukum sebagai gejala sosial) berjalan dan berkembang seiring dengan kemajuam masyarakat.
Komentar