Antara Pesta Demokrasi dan Jalan Menuju Lorong Kegelapan
Sebuah Catatan Singkat Menjelang Pemilihan Kepala Daerah
*Penulis: Dani Sintara
Anda mungkin pernah mendengarkan atau membaca istilah Vox Populi Vox Dei, Suara Rakyat adalah Suara Tuhan. Istilah ini pertama kali dikutip dalam surat yang ditulis Alcuin of York (735-804), yang bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan pemerintah yang absolut pada masanya.
Vox Populi Vox Dei mengalami booming saat sistem demokrasi merajai sebuah negara yang lahir dari ketidakadilan penguasa sehingga rakyat tergerak hatinya untuk meruntuhkan kekuasaan yang otoriter tersebut.
Pada mulanya slogan “Suara Rakyat, Suara Tuhan” merupakan motivasi bagi rakyat jelata yang berada dalam suatu negeri zhalim dan penindasan yang tidak manusiawi hingga mereka diharuskan melakukan perlawanan terhadap kondisi yang ada.
Jikalau rakyat telah bersuara maka disitulah bersemayam suara Tuhan, yang mendorong untuk melakukan perubahan ke arah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Hal ini dilakukan karena panggilan dan seruan Illahi demi menciptakan suasana yang humanis dan demokrasi.
Disinilah kedaulatan rakyat diposisikan seperti kalam Illahi!
Bila berpangkal tolak pada pendekatan sosiologis, rakyat adalah sekumpulan manusia, maka tentu arah sorotan pun pada akhirnya tertuju kepada manusia. Dengan kata lain, apakah jatidiri manusia sebagai khalifah yang bersifat memimpin berdasarkan kebaikan atau sewaktu-waktu dapat berubah menjadi sosok kebalikannya? Tentu pertanyaan ini akan mengundang banyak perdebatan dengan pendekatan dan paradigma keilmuan masing-masing.
Menurut Saya. Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan tidaklah relevan dengan kondisi kekinian khususnya dalam pemilihan kepala daerah. Dimana masih banyak rakyat yang tidak mengerti akan eksistensinya sebagai hamba dan representasi cinta Tuhan yang selalu berbuat kebaikan dan terpanggil untuk menyuarakan kebenaran berdasarkan hati nuraninya.
Komentar