Soal Dugaan Korupsi Lahan ‘Waste To Energi’, Kadis Pertanahan Akui 4 Ha Belum Bersertifikat

Makassar - Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar, dibawah kepemimpinan Ilham Arief Sirajuddin (IAS) dulunya berencana akan mengembangkan pengolahan sampah berbasis energi atau Waste to Energi di Kelurahan Tamalanrea, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar.
Untuk merealisasikan rencana tersebut, pada tahun 2013 Pemkot Makassar telah membebaskan lahan milik masyarakat di sana. Luasnya kurang lebih 12 hektare (ha). Hanya saja, tujuh tahun setelah dibebaskan, baru 8 ha lahan telah berbadan hukum.
Kepala Dinas (Kadis) Pertanahan Kota Makassar Manai Sophian saat dikonfirmasi Daily Klik, Jumat (14/08/2020) mangakui bahwa 4 ha dari 12 ha lahan tersebut belum bersertifikat.
"Jadi memang (4 hektar) belum disertifikatkan. Karena baru diusulkan. Kan itu aset pemerintah. Tahun 2019 kita usulkan ke BPN," akuinya saat dihubungi melalui telepon seluler.
Kendati begitu, Manai Sopian tidak mengetahui secara pasti. Mengapa sejauh ini lahan itu belum bersertifikat.
Dia hanya manyampaikan kalau Badan Pertanahan Nasional (BPN) sangat teliti menerbitkan sertifikat kepemilikan lahan.
"Orang BPN kan teliti secara administrasi. Saya belum tahu apa permasalahannya. Tanya ke pemerintahan yang lama. Saya juga tidak tahu lahan itu untuk apa. Jangan sampai saya sebut begini, jadinya tidak begitu," pungkas Manai Sophian.
Dia pun enggan berspekulasi soal nilai atau harga lahan yang telah dibebaskan itu. Dia mengaku tidak mengetahuinya.
"Saya tidak tau nilainya. Saya tahunya itu aset pemerintah kota," ucap Manai Sophian lagi.
Untuk diketahui, beberapa waktu lalu, Aliansi Mahasiswa Makassar Menggugat menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Kejati Sulsel, Jalan Urip Sumohardjo, Makassar.
Mereka menuntut agar aparat penegak hukum mengusut dugaan korupsi pembebasan lahan itu.
"Kami minta kepada Kajati Sulsel untuk bersikap. Memeriksa mantan wali kota. Kami duga ada kesalahan pada pembayaran tanah itu," tegas Dedi Arsandi selaku Koordinator Aksi unjuk rasa.
Dalam orasinya, dia menduga, ada kerugian negara saat itu. Itu kata dia, jika pembelian tanah disesuaikan oleh nilai NJOP di tahun 2013 lalu.
Nilai NJOP, lanjut Dedi, saat itu hanya diperkirakan hanya Rp100.000 per meter. Hanya saja, pemerintah kota saat itu melakukan transaksi dengan nilai di atasnya, berkisar Rp600.000 per meternya.
"Juga diduga pembayarannya bukan ke ahli waris. Dan ternyata, setelah diukur luas tanah (lahan) hanya 8 ha," urai Dedi.
Dia juga menambahkan, proses pembebasan lahan itu dilakukan saat M Sabri masih menjabat sebagai Kabag Pemerintahan. M Sabri saat ini diketahui adalah Asisten I Sekretariat Kota Makassar.
"Kami juga desak agar Lurah dan Camat saat itu turut diperiksa," tutupnya tegas.
Aksi serupa juga pernah mereka lakukan pada Kamis (23/07/2020) lalu.
Komentar