Disrupsi Dunia Media dari Konvensional dan Hadirnya News Aggregator
Oleh : Hery B Manalu*
Disrupsi adalah sebuah inovasi yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru. Disrupsi berpotensi menggantikan pemain-pemain lama dengan yang baru.
Disrupsi menggantikan teknologi lama yang serbafisik dengan teknologi digital yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru dan lebih efisien, juga lebih bermanfaat.
Dalam terminologi digital, pembaca umpan, atau kadang disebut juga agregator, pengumpul, atau pembaca berita, adalah suatu klien atau layanan web yang mengumpulkan isi web tersindikasi seperti tajuk berita, blog, podcast, dan vlog pada suatu lokasi agar mudah untuk dibaca. (Wikipedia)
Tingkat literasi masyarakat yang masih rendah dan budaya getok tular dan membagi informasi tidak disertai dengan budaya menelaah.
News aggregator menyederhanakan pencarian berita dan informasi. Pembaca sudah disuguhi konten berita dan informasi yang diminati karena sudah memberikan notifikasi pada layar smartphone pengguna.
Menurut hasil survey yang dilakukan oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) pada 2016 terdapat 132,7 juta pengguna internet di Indonesia dari total populasi penduduk sebesar 256,2 juta orang. (Sindonews.com 26 Desember 2016).
Hadirnya news aggregator sebagai penyedia konten berita dan informasi di platform Android dan iOS, juga membuat orang semakin meninggalkan Twitter.
Notifikasi dari sejumlah news aggregator seperti Baca, Kurio, UC News, dan Shortir, para pencari informasi cukup mengakses notifikasi yang akan membawa ke link media massa pembuat berita.
Tak hanya berita dan berbagai informasi, news aggregator seperti Baca misalnya, menyajikan segala hal yang disukai anak muda, mulai dari video klip musik, film hingga game yang mengedepankan visualisasi dan hiburan.
Popularitas news aggregator dibanding Twitter bahkan kian terdapat jurang yang lebar. Berdasarkan riset di lakukan Baca di Indonesia, selama setengah tahun (Februari-Juni 2016), perusahaan telah mengantongi empat juta pengguna baru, sedangkan Twitter hanya dua juta.
(Liputan6.com 5 Desember 2016).
Data dari DailySocial yang melakukan survei pada 2018 dengan responden 2.032 pengguna smartphone di berbagai penjuru Indonesia menemukan, sebagian besar responden (44,19 persen) tidak yakin memiliki kepiawaian dalam mendeteksi berita bohong.
Disrupsi dalam dunia media telah memakan korban. Pelan tapi pasti, media konvensional banyak yang gulung tikar.
Konsultan bisnis PwC dalam laporan 'Perspective from the Global Entertainment and Media Outlook 2017' menyebutkan, laju global pertumbuhan koran dalam lima tahun ke depan adalah minus 8,3 persen.
Ini angka terendah karena prediksi untuk media massa konvensional lainnya (majalah, radio, televisi, dan buku) juga mengalami pertumbuhan minus pada 3,4 persen hingga 6 persen. Di sisi lain, PwC memprediksi media berbasis internet tumbuh 0,5 persen sampai 6 persen.
Fenomena stagnansi hingga penurunan global media cetak dan koran yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat (AS) sejak 2009 lalu, makin nyata terjadi di Indonesia sejak 2015 hingga 2017. Hal ini bisa terlihat dari penutupan parsial atau total sejumlah media cetak bahkan dari kelompok media besar.
Data Serikat Perusahaan Pers (SPS) menunjukkan, jumlah penerbitan dan tiras sejak 2002 masing-masing mengalami minus 59 persen dan stagnansi. Jika diturunkan lagi angkanya, yakni 1.254 penerbitan pada 2013 dan tersisa 850 penerbitan pada 2017, maka secara umum, tiap tahun rata-rata tutup 80 jumlah penerbitan atau total 404 penerbitan dalam lima tahun terakhir.
Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), terjadi kenaikan jumlah pengguna internet di Indonesia. Dalam 15 tahun terakhir (2002 – 2017) terjadi kenaikan pengakses internet dari 4,5 juta warganet menjadi 145 juta warganet (Beritasatu.com 19 April 2019).(*)
*Penulis: Hery B Manalu, Redaktur DailyKlik.id
Komentar